Dia merupakan salah satu perempuan Jerman yang diperkosa Tentara Merah tak lama setelah Berlin jatuh ke tangan Uni Soviet pada awal Mei 1945. |
|
![]() |
|
Sabtu, 30 Juni 2018 | |
|
|
![]() |
|
Istimewa/Kolose TribunManado | |
TRIBUNMANADO.CO.ID Ruth Schumacher, perempuan Jerman
kelahiran 1926, tak kuasa terus memendam perasaan. Setelah puluhan tahun bungkam, dia akhirnya buka suara seperti dilansir
Tribunmanado.co.id dari Historia. Dia merupakan salah satu perempuan Jerman yang diperkosa Tentara Merah tak lama setelah Berlin jatuh ke tangan Uni Soviet pada awal Mei 1945. “Selama beberapa dekade, sebagian besar perempuan Jerman diam
tentang trauma yang mereka alami,” tulis Eric Westervelt dalam “Silence Broken
On Red Army Rapes In Germany,” dimuat di laman npr.org. Kisah Ruth membuka selubung kejahatan perang Tentara Merah Uni Soviet semasa
Perang Dunia II. Selain dari diamnya para penyintas, kabut hitam peristiwa kelam itu datang
terutama dari bekas negara Uni Soviet yang berusaha keras menutupinya. Kejatuhan Berlin –dan wilayah-wilayah sebelumnya yang dilalui Tentara Merah–
menjadi awal petaka bagi banyak perempuan Jerman. “Biarawati, gadis-gadis, perempuan tua, ibu hamil dan ibu yang baru saja
melahirkan semua diperkosa tanpa belas kasihan,” tulis Antony Beevor
dalam Berlin: The Downfall 1945. Kejahatan perang itu bahkan sudah berlangsung sejak sebelum Tentara Merah
masuk Berlin. Gadis-gadis di tempat-tempat yang dilalui Tentara Merah, termasuk kota-kota
di Polandia, harus menyerahkan kehormatannya sebagai ganti dari keselamatan
nyawanya. Ruth, salah satunya. Di kota tempat tinggalnya, Leipzig, pemerkosaan terjadi
tak lama setelah usainya bombardir sekutu dan pindahnya pasukan mereka ke
tempat lain. “Segera aku diperkosa bergiliran oleh gerombolan yang terdiri dari lima
orang Rusia,”
kenang janda prajurit Jerman yang bertugas di U-boat itu, sebagaimana dilansir
di npr.org. Pengalaman pahit itu juga menghampiri Gabriele Kopp, yang kala itu berusia
15 tahun. Setelah tergesa-gesa melarikan diri dari rumahnya lantaran sang ibu –yang
berjanji akan menyusul– mengatakan tentara Soviet sudah mendekat, dia akhirnya
tertangkap prajurit Soviet di sebuah desa. “Keesokan harinya, dia dikejar ke rumah orang lain, di mana dia diperkosa
oleh seorang tentara, dan kemudian oleh tentara lain segera setelah itu.
Keesokan paginya, dia didorong ke sebuah gudang dan diperkosa oleh dua orang
lainnya,” tulis Susanne Beyer dalam “Harrowing Memoir: German Woman Writes
Ground-Breaking Account of World War II Rape,” dimuat di spiegel.de. Ternyata seorang perempuan paruh baya pengungsi menjadikannya “umpan” kepada
tentara Soviet. Masa kelamnya itu berlangsung selama dua pekan sebelum dia
akhirnya bisa melarikan diri ke sebuah peternakan. Di masa itu banyak ibu mengorbankan gadis mereka untuk mencari selamat. Mereka ada yang bermain kotor seperti yang mereka lakukan terhadap Kopp, ada
juga yang membiarkan serdadu Soviet yang menginap di rumah mereka mendekati
gadis-gadis di dalam rumah. Beberapa ibu malah mendukung bila gadisnya didekati Tentara Merah. Letnan
Wladimir Gelfand, komandan pleton mortir di Divisi Senapan ke-301,
mengalaminya. “Di pinggiran Berlin pada akhir April, dia mendapati pengalaman adanya
permohonan dari seorang perempuan muda menarik –yang didukung oleh ibunya–
untuk dijadikan pemuas seksual eksklusifnya agar perempuan itu selamat dari
keadaan lebih buruk,” tulis Frederick Taylor dalam Exorcising Hitler. Berbeda dengan para gadis, yang tak berdaya, perempuan lebih matang punya
keleluasaan lebih besar untuk menyiasati keadaan. Contohnya jurnalis Marta Hillers –penyintas pertama yang menuliskan
pengalamannya ke dalam sebuah buku yang terbit pada 1950, tapi memakai nama
anonim. Dia yang kala itu sudah berusia tiga puluh tahunan, terpaksa menyerahkan
dirinya kepada seorang perwira Soviet agar terhindar dari perkosaan massal
Tentara Merah. Sebelumnya, dia beberapa kali diperkosa prajurit Soviet. Bagi Soviet, memperkosa perempuan Jerman
merupakan hukuman balasan atas kejahatan bangsa Jerman. “Banyak serdadu Soviet ingin membalaskan dendam mereka akibat penderitaan
yang telah ditimbulkan (oleh Jerman, red) di negeri mereka,” tulis Michael Jones
dalam Total War: From Stalingrad to Berlin. Tak adanya perintah khusus untuk hal itu menyebabkan banyak serdadu harus
menanyakan komandannya tentang apa saja yang boleh dilakukan terhadap orang Jerman. “Tentang pertanyaan mengenai perempuan, Anda bisa memperlakukan perempuan Jerman agak
bebas, asal tak terlihat terorganisir. Satu atau dua dari kalian bisa pergi
(mencari perempuan Jerman, red), melakukan yang kalian perlukan, kembali ke
kesatuan, dan hanya itu,” lanjutnya. Stalin sendiri tak pernah mau menghukum prajurit-prajuritnya atas tindak
perkosaan mereka terhadap perempuan Jerman. Dia justru memaklumi dengan mengingat beratnya tugas para prajurit dan
kebaradaannya yang berjarak ribuan kilometer dari tanah air. Akibatnya, meski tak ada angka pasti, sekitar dua juta perempuan Jerman menjadi
korban perkosaan. Menurut Philipp Kuwert, pakar trauma dan kepala Departement Psychiatry and
Psychotherapy di University Hospital of Greifswald, rata-rata seorang perempuan
Jerman
mengalami 12 kali perkosaan. Selain menimbulkan trauma berkepanjangan, perkosaan massal itu juga
mengganggu siklus haid para korban. Para ginekolog sampai menamakannya “Russian disease”. Kopp absen haid selama
tujuh tahun. Janin yang mereka kandung umumnya diaborsi; yang sampai lahir harus
menanggung pengucilan. Banyak dari perempuan itu lalu meninggal tak lama setelah mengalami
perkosaan. Mereka yang selamat, mengalami trauma panjang dan umumnya tak berani bersuara terlebih para penyintas yang kemudian menjadi bekas warga negara Jerman Timur, pemerintah komunis memaksa mereka menandatangani perjanjian untuk tak mengungkap perkosaan massal di ujung Perang Dunia II itu. “Dan aku sudah banyak melewati malam tanpa tidur karena hal itu,” ujar Ruth.
Valdy Suak
Tribun Manado |
|
Artikel ini telah tayang di tribunmanado.co.id dengan judul Nasib Kelam Perempuan © TRIBUNMANADO.CO.ID |
Das Schicksal dunkler deutscher Frauen nach der Niederlage der Nationalsozialisten: junge Mädchen, alte und überlebende Frauen.
Ein deutscher Soldat wurde von der Roten Armee vergewaltigt, kurz nachdem Berlin Anfang Mai 1945 in die Hände der Sowjetunion gefallen war.
Ruth Schumacher, 1926 geborene deutsche Frau, konnte lange Zeit keine Gefühle mehr zeigen. Nach Jahrzehnten des Schweigens erhob sie schließlich ihre Stimme, wie Tribunmanado.co.id unter Berufung auf Historia berichtet. Sie war eine der deutschen Frauen, die kurz nachdem Berlin Anfang Mai 1945 in die Hände der Sowjetunion gefallen war, von der Roten Armee vergewaltigt wurde.
„Seit Jahrzehnten schweigen die meisten deutschen Frauen über das Trauma, das sie erlebt haben“, schrieb Eric Westervelt in Broken Silence: Auf Rote Armee Vergewaltigungen in Deutschland, veröffentlicht auf npr.org.
Ruths Geschichte entfaltet das schreckliche Bild der Gewalt der Roten Armee während des Zweiten Weltkriegs. Neben dem Schweigen der Überlebenden wurde diese dunkle Episode auch von den ehemaligen sowjetischen Staaten systematisch verdrängt und verschwiegen.
Der Fall Berlins und der Vormarsch der Roten Armee bedeuteten für viele deutsche Frauen den Beginn einer Katastrophe.
„Nonnen, Mädchen,
ältere Frauen, schwangere Frauen und Mütter, die gerade
geboren hatten – alle wurden gnadenlos vergewaltigt“, schreibt Antony Beevor in Berlin: Der Untergang 1945.
Das Kriegsverbrechen begann schon vor dem Fall Berlins. In den Gebieten, die die Rote Armee durchquerte, darunter auch Städte in Polen, mussten junge Mädchen ihre Unversehrtheit für das eigene Überleben opfern.
Ruth war eine von ihnen.
In ihrer Heimatstadt Leipzig wurde sie kurz nach einem alliierten
Bombenangriff und dem Vorrücken sowjetischer Truppen brutal
überfallen.
„Sofort wurde ich nacheinander von einer Bande von fünf Russen vergewaltigt“, erinnert sich die Witwe eines deutschen U-Boot-Soldaten, wie npr.org berichtet.
Bittere Erfahrungen machte auch Gabriele Kopp,
damals 15 Jahre alt. Nachdem sie hastig aus ihrem Haus geflohen war
– ihre Mutter versprach nachzukommen – wurde sie von einem
sowjetischen Soldaten in einem Dorf gefangen.
„Am nächsten Tag wurde
ich in das Haus eines anderen getrieben, wo mich ein Soldat und bald
darauf ein weiterer vergewaltigten. Am Morgen danach wurde ich in einen
Schuppen gedrängt und erneut von zwei Soldaten vergewaltigt“, schreibt Susanne Beyer in Harrowing Memoir: Deutsche Frau schreibt Weisende Konto des Zweiten Weltkriegs Rape, veröffentlicht auf spiegel.de.
Eine Flüchtlingsfrau mittleren Alters hatte Kopp absichtlich den sowjetischen Soldaten ausgeliefert, um selbst verschont zu bleiben. Zwei Wochen dauerte ihr Martyrium, bis sie schließlich auf eine Farm fliehen konnte.
In jenen Tagen opferten viele Mütter ihre Töchter, um ihr eigenes Überleben zu sichern. Einige ließen sowjetische Soldaten bewusst an ihre Töchter heran, andere unterstützten sogar diese Annäherungen. Leutnant Wladimir Gelfand, Kommandant eines Mörserzuges in der 301. Schützendivision, erlebte so eine Szene.
„Am Stadtrand von Berlin Ende April erlebte ich, wie eine attraktive junge Frau – unterstützt von ihrer Mutter – anbot, den sowjetischen Soldaten als exklusive Geliebte zu dienen, um so ihre Familie zu schützen“, schreibt Frederick Taylor in Hitlers Exorzismus.
Im Gegensatz zu den jungen Mädchen hatten reifere Frauen manchmal mehr Möglichkeiten, um mit der Situation umzugehen. Ein Beispiel ist die Journalistin Marta Hillers, die ihre Erfahrungen 1950 anonym veröffentlichte. Damals 30 Jahre alt, zwang sie sich, sich einem sowjetischen Offizier zu ergeben, um der Massenvergewaltigung zu entkommen, nachdem sie bereits von einfachen Soldaten missbraucht worden war.
Für viele
sowjetische Soldaten waren diese Verbrechen eine Rache für die
unermesslichen Leiden, die Deutsche ihrem Land zugefügt hatten.
„Viele wollten sich für das Leid rächen, das die Deutschen in der Sowjetunion angerichtet hatten“, schreibt Michael Jones in Total War: Von Stalingrad nach Berlin.
Mangels klarer Befehle herrschte Chaos.
„Bezüglich der Frauen
könnt ihr deutsche Frauen nach Belieben behandeln, solange ihr
dabei nicht organisiert handelt. Ein oder zwei Soldaten können
sich abwechseln, was sie brauchen, und dann zurück zur Einheit
kehren“, zitiert Jones einen Befehl.
Stalin selbst weigerte sich, seine Soldaten für die Vergewaltigungen zu bestrafen. Er sah es als unvermeidlichen Ausbruch angesichts der jahrelangen Strapazen und der Entfernung von der Heimat.
Genaue Zahlen gibt es nicht, aber Schätzungen zufolge wurden etwa zwei Millionen deutsche Frauen Opfer sexueller Gewalt.
Laut Philipp Kuwert,
Traumaexperte und Leiter der Klinik für Psychiatrie und
Psychotherapie am Universitätsklinikum Greifswald, wurde jede
betroffene Frau durchschnittlich zwölfmal vergewaltigt.
Die Folgen für Körper und Seele waren katastrophal. Der Ausfall des Menstruationszyklus war so häufig, dass Gynäkologen dafür den Begriff „Russische Krankheit“ prägten. Gabriele Kopp beispielsweise hatte sieben Jahre lang keine Menstruation.
Viele Schwangerschaften wurden abgebrochen; diejenigen, die austrugen, erlebten soziale Ächtung. Viele Frauen starben kurz nach den Vergewaltigungen.
Die Überlebenden,
besonders in der späteren DDR, litten nicht nur unter
körperlichen und seelischen Narben, sondern auch unter dem
Schweigegebot der kommunistischen Regierung, das die
Massenvergewaltigungen unterdrückte.
„Und ich habe viele schlaflose Nächte deswegen durchgemacht“, sagte Ruth Schumacher.